top of page
Search
  • Writer's pictureWahyu Riawanti

Jembatan Suramadu

Updated: Nov 2, 2022

Anekdot yang umum dilontarkan tentang kuliner Madura adalah: tidak ada Sate Madura di Madura. Seperti halnya tidak ada Rumah Makan Padang di kota Padang. Sayangnya saya hanya sekejap mengunjungi Madura, tidak sempat membuktikan kenyataannya. Tetapi bahwasannya sate (ayam) identik dengan Madura adalah keniscayaan. Salah satu versinya adalah sate Mbak Siti, penjual sate keliling langganan anak saya waktu kecil. Versi lain yang lebih tidak sehat tapi baunya luar bias menggoda adalah sate lemak ayam yang dibakar di tempat, biasanya pintu masuk di pasar pasar tradisional. Sate Madura yang saya buat ini masih termasuk versi sehat.



Ada dua tujuan saya saat melewati jembatan Suramadu, pada suatu akhir minggu sepulang dari outdoor trip ke Kawah Bromo. Pertama, membandingkan dan mencari beda antara Madura dan Surabaya. Madura, lambang kota santri yang jauh dari gemerlap semarak dan Surabaya sebagai representasi ibu kota propinsi sebelahnya. Dan yang kedua mencari bukti yang menjelaskan mengapa mbak Siti dan para koleganya memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan memilih untuk berdagang sate di Jawa.


Tadinya, kukira saat berkunjung singkat tersebut akan membuat saya menemukan jawaban dengan didukung dengan dakik dakik teori sosiologi, ekonomi pembangunan dan angka kemiskinan. Ternyata tidak. Atau mungkin saja saya hanya belum sampai pada titik jawaban tersebut di sana. Tapi yang jelas, satu setengah jam berada di tanah Madura hanya menyisakan patah hati.


Patah hati karena saya melihat sekeping kota dengan masa depan yang remang.


Bisa jadi temaram dan kegelapan kesimpulanku dipengaruhi oleh suasana malam saat itu. Atau mungkin sesungguhnya patah hatiku ini sudah dimulai saat masih di Surabaya. Saat kendaraan kami melintas di depan Fakultas Kedokteran Universitass Airlangga, hujan sepertai sengaja dijatuhkan dari ember-ember raksasa di pintu langit. Dan meski derasnya mereda di tikungan jalan raya Kedung Cowek, sisa hujan menyisakan sendu saat tiba di tanah Madura setelah menyusuri Suramadu.


Pemandangan malam di Madura yang demikian papa segera menggantikan kilau gemintang di Surabaya. Aura metropolitan berganti dengan hamparan rumah kayu yang terlalu sederhana, kalau tak hendak dibilang menyedihkan. Pergantian gambar dan adegan dramatis serupa film Ratapan Anak Tiri di masa lalu terjadi dalam kurang dari enam puluh menit perjalanan.


Kegelapan Madura di ujung seberang Suramadu menjelma menjadi liturgi kesedihan. Sekilas aroma tanah yang basah menjadikannya lebih mendayu dramatis. Ini tak sampai membuatku menangis, tapi isak sedih tetes air sisa hujan mewakili semua sedu sedan. Semoga perkiraanku salah. Semoga asumsi ini bukan jawaban yang benar karena tanpa data yang sudah dikonfirmasi pihak berwenang. Tapi sepotong hati sudah terlanjur patah, buat apa mencari jawabnya.

7 views

Recent Posts

See All
bottom of page