top of page
Search
  • Writer's pictureWahyu Riawanti

Lombok dan Bima pada Suatu Masa

Updated: Nov 4, 2021

Tidak ada yang khusus tentang Lombok dan Bima, kota kecil di ujung Nusa Tenggara Barat sana. Ta[pi bagaimana pun kenangan akan menetap, kata oramg bijak. Sekian tahun yang lalu aku pernah berkunjung selama beberapa pekan untuk melakukan penelitian antropologi di sana. Sungguh mahasiswa yang yakyakan, kuliah di Fakultas Peternakan tapi ekspansi penelitian Antropologi sampai Bima.




Lucky me, berkesempatan menjelajahinya sampai ujung Pulau Kambing, pulau kecil yang menjadi ikon Kota Bima. Hampir sama seperti kota kota kecil lainnya, Bima memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Tapi perjalanan selalu menarik karena ia menjadi layak diceritakan. tentang bagaimana kami menyabung nyawa berlayar di saat menjelang sore, saat yang kurang tepat untuk berperahu. Menuju Gili Meno dan Gili Air.


Detik detik yang membuatku ketakutan dan mohon ampun bertobat, Saat di mana ombak berada tiga meter di atas kepala kami dengan perahu kecil seukuran panjang kolor tukang perahu. Betapa horornya... Satu satunya hal yang bisa kulakukan saat itu adalah: merem pasrah menunggu ke mana nasib akan membawa kami. Sambil minta ampun pada Sang Pencipta untuk tidak berbuat dosa lagi. Tapi besoknya lagi sudah lupa, tentu saja.


Menyusuri kota kecil, sambil sesekali naik Cidomo, kami melakukan kajian etnografi bersama penduduk lokal di sekitar kawasan Perumahan Nusantara. Yang paling utama dan menarik adalah bangunan bangunan tua. Persis seperti salah satu quote sabda National Geographic tentang sejarah dan lanskap: Kota yang indah tanpa bangunan tua, ibarat perempuan cantik yang hilang ingatan"


Nasi Balap, selain ayam Taliwang tentu saja, makanan khas Lombok menjadi spesial karena kenangan itu. Ada banyak cerita yang bisa dikisahkan kembali. Tapi salah satunya adalah tentang anak anak Pak Fauzi - penduduk setempat - yang bertugas menemani kami menjelajah Kota Bima.


Aku ingat mengiriminya kain batik gendongan khas Jogja untuk bayi Fauzi. Dan aku masih menyimpan kain Sumbawa merah yang kubeli di salah satu perajin di sana. Kain merah emas yang kemudian kupakai pada saat acara wisuda terbuka tahun 2015. Padahal kainnya kubeli pada tahun 2003, astaga, suwi banget.


Kota Bima, Nasi Balap dan Pulau Kambing menjadi benang merah yang akan tetap berkelindan dalam ingatan.



12 views

Recent Posts

See All
bottom of page