Whenever we celebrate big days, often its more intense to pay attention on the food rather than the celebration. For me Christmas is the day of several different kind of Christmas cakes. Valentine day is the day of chocolate and various cupcakes. And specifically Lebaran day is the day of so many cookies. Frankly, for mostly Indonesian one of the most popular and favorite cookies among people is pineapple cookie so called nastar.
Kemarin bikin selai nanas buat isian nastar inilumayan banyak. Beres bikin nastar lucu karakter daun malah si anak bedes rikues, minta dibikinin nastar biasa biar kayak lebaran. Jadilah bikin nastar lagi menghabiskan isian nanas. Kudapan yang membahayakan ini, bisa habis setengah toples sekali makan. Sungguh kebiasaan yang meresahkan.
Sisi lain dari cerita tentang suguhan nastar ini adalah tentang betapa hari Lebaran begitu dirindukan bagi banyak orang. Masyarakat di Indonesia bisa dibilang rela melakukan apapun supaya bisa mudik bersama keluarga merayakan lebaran. Terlepas dari aspek religinya, cerita tentang nastar secara kultur menjelaskan dengan sangat baik bagaimana kuatnya sifat dasar kita sebagai entitas sosial.
Yuval Noah Harari menjelaskan dengan sangat baik tentang bagaimana spesies manusia dapat bekerjasama dalam jumlah besar sebagai makhluk sosial karena saling sepakat dengan realitas subyektif yang sama, dalam hal ini "Lebaran". Sisi baiknya adalah (tidak hanya melalui nastar) Lebaran menyatukan banyak orang untuk niali kebaikan. Semoga berhenti di sana, tidak menimbulkan ekses negatif ketika kita berusaha merayakan lebaran ini bersama.
Konkritnya, dalam situasi pandemi ketika banyak pembatasan dilakukan seharusnya tradisi juga melakukan adaptasi, tidak memaksakan mudik jika memang tidak memungkinkan. Meski demikian jangan sampai makan korban. Karena realitas subyektif tadi bisa makan korban realitas nyata yaitu publik termasuk lansia dan anak anak. Ya masak cuma mau makan nastar saja sampai jatuh korban.